English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 21 Maret 2012

Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dalam UNCLOS 1982


Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian Perselisihan di dalam UNCLOS 1982

Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dalam UNCLOS 1982

Bisa dikatakan bahwa tragedi kandasnya kapal super tanker Showa Maru (berbendera Jepang) di Selat Malaka pada awal Januari 1975 telah membukakan mata kita tentang betapa pentingnya bagi Indonesia dan dunia internasional untuk memberikan perhatian pada isu pencemaran lingkungan laut beserta aspek lain yang mengikutinya, seperti: eksplorasi dan eksploitasi laut serta skema ganti rugi terhadap aktivitas negara-negara atas laut.
Kepentingan Indonesia dan juga dunia internasional atas perlunya eksistensi rezim hukum laut yang mengatu hal tersebut diatas mencapai puncaknya pada awal abad ke-20. Tercatat dalam paruh pertama abad ke-20 telah terdapat 4 kali usaha dunia internasional untuk memperoleh suatu rezim hukum laut yang menyeluruh, yaitu:
a.Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification Conference in 1930) di bawah naungan Liga Bangsa –Bangsa;
b.Konferensi PBB tentang Hukum Laut I tahun 1958 (The First UN Conference on the Law of the Sea in 1958)[1];
cKonferensi PBB tentang Hukum Laut II tahun 1960 (The Second UN Conference on the Law of the Sea in 1960); dan
d.Konferensi Hukum Laut III tahun1982 (The Third UN Conference on the Law of the Sea 1982) yang menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
UNCLOS 1982 merupakan puncak karya dari upaya dunia internasional atas pembentukan rezim hukum laut menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan, UNCLOS 1982 telah ditanda tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the Ocean). UNCLOS 1982 terdiri dari 17 bagian dan 9 lampiran yang antara lain mengatur tentang: batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara diatas laut, navigasi, riset ilmiah,pertambangan laut, eksploitasi sumber hayati dan non hayati di laut, perlindungan dan pemeliharaan laut serta penyelesaian perselisihan atas eksploitasi dan eksplorasi laut oleh negara-negara peserta. UNCLOS 1982 berlaku 12 bulan setelah tanggal deposit dari instrumen ratifikasi ke enampuluh[2][3] dan menggantikan Konvensi-Konvensi yang telah dihasilkan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 sebelumnya.
UNCLOS 1982 meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta  untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut[4]. Juga menetapkan hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan dari masing-masing negara[5]. UNCLOS 1982 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan bagi kapal perang dan kapal-kapal pemerintah serta kaitan dari Bagian XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut.
Bagian XII UNCLOS 1982 tersebut juga mewajibkan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu guna mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan laut dari sumber-sumber manapun baik dari daratan (pembuangan sampah rumah tangga dan deterjen berlebih, penggunaan peptisida yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan, pencemaran air sungai, dan lain-lain) ataupun laut. UNCLOS 1982 juga mengatur kewajiban negara peserta untuk memastikan bahwa tindakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut di dalam jurisdiksi nasionalnya tidak mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan laut wilayahnya sendiri dan juga lingkungan laut negara lain.

Kerjasama Regional dan Internasional Dalam Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut Lintas Batas

Negara peserta UNCLOS 1982 diwajibkan untuk bekerjasama secara bilateral, regional dan global baik secara langsung ataupun melalui organisasi internasional dalam merumuskan aturan-aturan, standar-standar dan rekomendasi praktek serta prosedur guna melindungi dan memperhitungkan keadaan regional bersangkutan[6]. Apabila suatu negara mengetahui tentang ancaman atau pencemaran lingkungan yang sudah terjadi di wilayah lintas batas, negara tersebut harus memberitahukan negara lain yang mungkin tercemar dan organisasi internasional yang terkait atas peristiwa ancaman atau pencemaran lingkungan laut lintas batas tersebut[7].
Dalam skenario sebagaimana digambarkan diatas, negara-negara dan organisasi-organisasi regional/internasional didalam wilayah tersebut harus bekerja sama  untuk menghilangkan akibat-akibat pencemaran serta mencegah atau memperkecil kerusakan dan menerapkan rencana-rencana khusus untuk menanggulangi insiden pencemaran lingkungan laut lintas batas tersebut[8]. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa contoh bentuk kerjasama baik bilateral, regional dan internasional guna perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut lintas batas, seperti:

A. Kerjasama Bilateral
MoU between the Government of Australia and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response 1996, yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb:
a.Promosi kerjasama yang saling menguntungkan di dalam kesiapan di dalam merespon polusi minyak di laut;
b.Kerjasama pertukaran informasi atas insiden pencemaran minyak di laut;
c.Inspeksi lapangan pada lokasi insiden minyak di laut yang sedang terjadi untuk kerjasama yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak;
d.Pelatihan dan pendidikan bersama untuk capacity building yang lebih baik;
e.Promosi untuk melakukan riset dan penelitian di dalam menciptakan ukuran (measures), teknik , standar dan peralatan yang diperlukan;
f.Kerjasama tanggap darurat seperti mobilisasi personil, logistik dan peralatan lain yang dibutuhkan di dalam situasi darurat, dan lain-lain.



B. Kerjasama Trilateral
MoU Sulawesi Sea Oil Spill Response Network Plan 1981, yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb:
a.Kerjasama antara Indonesia-Malaysia-Filipina di dalam hal menghadapi tumpahan minyak di sepanjang Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Laut Sulu;
b.Pelatihan personil tahunan di dalam konteks MARPOL[9] dan isu terkait lainnya;
c.Mekanisme komunikasi antara focal point di masing-masing negara dalam hal perencanaan suatu operasi oil spill combat, dan lain lain.

C. Kerjasama Regional
10MoU between Indonesia-Malaysia-Singapore with the Malacca Straits Council on the Establishment of Revolving Fund Committee yang bertujuan untuk membuat skema sumber dana “on-call” atau dana talangan apabila terjadi operasi penanggulangan pencemaran minyak di laut yang berasal dari tumpahan kapal yang berlokasi di Selat Malaka dan Singapura.
2)MoU for ASEAN Oil Spill Response Action Plan (ASEAN-OSRAP), 1992 yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb:
a.Meningkatkan kemampuan negara peserta untuk merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi di wilayah negara-negara ASEAN;
b.Membentuk skema kerjasama untuk pemberian bantuan yang saling menguntungkan diantara negara anggota ASEAN;
c.Membuat prosedur pengelolaan bencana di dalam merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi di wilayah negara-negara ASEAN;dan
d.Membuat skema bantuan eksternal dan internal yang diperlukan di dalam merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi di wilayah negara ASEAN, dan lain-lain.


D. Kerjasama Global
1)   International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation, 1990 yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb[10]:
a.Mengatur kerjasama kesiapsiagaan dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dari kapal, anjungan lepas pantai,  pelabuhan laut maupun fasilitas-fasiltas lain; dan
b.Membantu negara berkembang untuk mempersiapkan diri dan bereaksi tanggap terhadap insiden-insiden tumpahan minyak di laut, dan lain lain.
2)   International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) dan the International Oil Pollution Compensation (IOPC) Funds 1992 yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb[11]:
a.CLC dimaksudkan untuk memastikan bahwa tersedia kompensasi yang cukup bagi pihak-pihak yang terkena dampak pencemaran laut akibat tumpahan minyak yang berasal dari kecelakaan-kecelakaan kapal;dan
b.Dalam CLC, kecuali terbukti bahwa kesalahan mutlak berada pada suatu pihak, terdapat batas pertanggung jawaban (limit of liability) atas jumlah kompensasi yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam suatu insiden pencemaran laut. Oleh karena itu IOPC Funds menyediakan dana tambahan apabila kerugian yang ditimbulkan melebihi limit of liability yang diatur didalam CLC tersebut, dan lain-lain.
Selain bentuk kerjasama bilateral, regional dan global sebagaimana telah diuraikan  diatas, Pemerintah Indonesia juga telah membentuk 2 instrumen nasional yang terkait dengan Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut, yaitu:

1)   Perpres No. 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) yang mengamanatkan tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi untuk mencegah dan mengatasi penyebaran tumpahan minyak di laut serta menanggulangi dampak lingkungan akibat tumpahan minyak tersebut untuk meminimalisi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. Tanggung jawab atas penyelenggaraan penanggulangan tumpahan minyak di laut tersebut merupakan tingkatan Tier-3[12] dan berada di tangan Tim Nasional PKDTML[13].

2)   Kepmenhub No. 355 tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Komando dan Pengendali Nasional (PUSKODALNAS) PKDTML yang mengamanatkan koordinasi operasi, dukungan advokasi, pelaksanaan komando, pengendalian operasi, penyusunan protap Tier-3[14], dan lain-lain guna merespon kondisi darurat yang disebabkan oleh tumpahan minyak di laut.

Prosedur Penyelesaian Perselisihan Sengketa Pencemaran Lingkungan Laut

Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means) yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB[15]. UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other free means)[16], dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu melalui[17]:
a.       Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b.      Mahkamah Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c.       Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d.      Konsiliasi (Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam Lampiran V UNCLOS 1982.
UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikat[18] bagi masing-masing pihak yang bersengketa. Prosedur di dalam persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan mengantikan  prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 sebagaimana telah diuraikan diatas.

Kasus Montara dalam Kepentingan Nasional Indonesia

Kasus kebocoran ladang minyak dan gas lepas pantai yang terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia merupakan suatu contoh pencemaran lingkungan laut lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu: Indonesia,Timor Leste dan Australia. Kebocoran ladang minyak dan gas tersebut mencemari  16.420 kilometer persegi wilayah Indonesia di Laut Timor dan mempunyai implikasi pada banyak hal antara lain: pencemaran lingkungan laut dan biota laut, pertumbuhan organisme laut yang terhambat (stunted growth), kematian terhadap organisme laut dan makhluk hidup lainnya yang mengkonsumsi organisme laut tersebut, serta implikasi langsung pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan penghidupan pada sektor perikanan di daerah tersebut.
PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Montara Welhead Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari[19] menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua[20]. Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada PTTEP berujung pada ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar atau setara dengan ± US$ 30 juta .
Dari kasus pencemaran minyak Montara tersebut diatas, terdapat suatu kenyataan  di dalam rezim hukum sekarang yang hanya mengatur mengenai pencemaran yang bersumber dari kapal[21], dan belum ada suatu instrumen atau mekanisme khusus yang mengatur pencemaran minyak di laut yang bersumber dari anjungan migas lepas pantai. Terkait dengan hal ini, Pemerintah RI telah menyampaikan Proposal untuk mengatur bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) dalam Marine Environmental Protection Committee (MPC)-nya International Maritime Organization (IMO). Setelah pembahasan di dalam MPC IMO, Proposal tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam Legal Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London.
Cakupan dari Proposal Pemerintah RI tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Indonesia memandang perlu dibentuknya suatu instrumen yang mengatur tanggung jawab dan skema kompensasi atas pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di kemudian hari;
b.      Mendesak Legal Committee IMO untuk membentuk suatu skema sumber dana “on-call” atau dana talangan yang dapat digunakan apabila pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) kembali terjadi dikemudian hari;
c.       Menegaskan kembali Polluters Pay Principle[22] dimana strict liability atas tanggung jawab insiden pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) berada pada pemilik kilang migas lepas pantai yang menyebabkan pencemaran minyak tersebut; dan
d.      Perlunya pemilik anjungan migas lepas pantai untuk menggunakan skema  asuransi atas resiko yang mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi migas di wilayah jurisdiksi RI, dan lain-lain.
Kasus Montara jelas merupakan suatu tonggak bagi Pemerintah RI untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kepentingan nasional Indonesia. Proposal RI di dalam Legal Committee IMO sangat jelas dan merupakan kepentingan strategis Indonesia, yaitu untuk mengkoordinasioan pembuatan suatu rezim hukum laut baru, melalui mekanisme multilateral, yang mengatur pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus Montara serupa di wilayah jurisdiksi Indonesia dikemudian hari.
-FJM-

[1] Konferensi Hukum Laut I telah menghasilkan 4 konvensi penting yaitu: Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone), Konvensi tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf) dan Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas)
[2] Pasal 308 UNCLOS 1982
[3] Pasal 311 UNCLOS 1982
[4] Pasal 192 UNCLOS 1982
[5] Pasal 193 UNCLOS 1982
[6] Pasal 197 UNCLOS 1982
[7] Pasal 198 UNCLOS 1982
[8] Pasal 199 UNCLOS 1982
[9] MARPOL adalah kependekan dari Marine Pollution. Terdapat juga suatu konvensi internasional MARPOL yaitu International Convention for the Prevention of Pollution From Ships, 1973 yang telah dirubah oleh Protocol of 1978. Kedua instrument ini dikenal juga dengan sebutan: MARPOL 73/78
[10] Saat ini Indonesia belum menjadi negara peserta di dalam Konvensi ini.
[11] Saat ini Indonesia adalah negara pihak CLC namun telah keluar dari IOPC Funds
[12] Tier-3 adalah tumpahan minyak telah melewati batas wilayah negara
[13] Tim Nasional PKDTML dipimpin oleh Menteri Perhubungan RI dan beranggotakan 14 Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Badan dan Kepala Daerah.
[14] Protap Tier-3 saat ini masih dalam proses finalisasi oleh Kementerian Perhubungan RI
[15] Pasal 279 UNCLOS 1982
[16] Pasal 280 UNCLOS 1982
[17] Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[18] Pasal 282 UNCLOS 1982
[19]Tumpahan miyak tersebut memasuki perairan Indonesia di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara Pulau Rote.
[20] Website Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), www.walhi.or.id
[21] Canadian Maritime Law Association menyampaikan di dalam suatu seminar bahwa dari 70 perjanjian internasional yang mengatur mengenai perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, belum ada satupun yang secara khusus mengatur bentuk kompensasi atas pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation). Perjanjian internasional yang mengatur tanggung jawab pencemaran minyak seperti Safety of Life on Sea (SOLAS) maupun Standard of Training, Certification and Watch Keeping for Seafarers (STCW) hanya didesain secara khusus untuk mengatur pencemaran minyak di laut yang berasal dari muatan kapal.
[22] Polluters Pay Principle adalah prinsip dasar yang terkandung di dalam Principle 16 dari Rio Declaration on Environment and Development, 1992 yang berbunyi: “national authorities should endeavor to promote the internalization of environmental cost and the use of economic instrument, taking into account the approach that the polluters should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade and investments”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar