Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian Perselisihan di dalam UNCLOS 1982
Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dalam UNCLOS
1982
Bisa dikatakan bahwa tragedi
kandasnya kapal super tanker Showa Maru (berbendera Jepang) di Selat
Malaka pada awal Januari 1975 telah membukakan mata kita tentang
betapa pentingnya bagi Indonesia dan dunia internasional untuk
memberikan perhatian pada isu pencemaran lingkungan laut beserta aspek
lain yang mengikutinya, seperti: eksplorasi dan eksploitasi laut
serta skema ganti rugi terhadap aktivitas negara-negara atas laut.
Kepentingan Indonesia dan juga dunia
internasional atas perlunya eksistensi rezim hukum laut yang mengatu
hal tersebut diatas mencapai puncaknya pada awal abad ke-20. Tercatat
dalam paruh pertama abad ke-20 telah terdapat 4 kali usaha dunia
internasional untuk memperoleh suatu rezim hukum laut yang menyeluruh,
yaitu:
a.Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930
(The Hague Codification Conference in 1930) di bawah naungan
Liga Bangsa –Bangsa;
b.Konferensi PBB tentang Hukum Laut I
tahun 1958 (The First UN Conference on the Law of the Sea in 1958)[1];
cKonferensi PBB tentang Hukum Laut II
tahun 1960 (The Second UN Conference on the Law of the Sea in 1960);
dan
d.Konferensi Hukum Laut III tahun1982
(The Third UN Conference on the Law of the Sea 1982) yang
menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982).
UNCLOS 1982 merupakan puncak karya
dari upaya dunia internasional atas pembentukan rezim hukum laut
menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10
Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan, UNCLOS 1982 telah
ditanda tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi
Lautan (Constitution for the Ocean). UNCLOS 1982 terdiri dari
17 bagian dan 9 lampiran yang antara lain mengatur tentang:
batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara diatas laut,
navigasi, riset ilmiah,pertambangan laut, eksploitasi sumber hayati
dan non hayati di laut, perlindungan dan pemeliharaan laut serta
penyelesaian perselisihan atas eksploitasi dan eksplorasi laut oleh
negara-negara peserta. UNCLOS 1982 berlaku 12 bulan setelah tanggal
deposit dari instrumen ratifikasi ke enampuluh[2][3]
dan menggantikan Konvensi-Konvensi yang telah dihasilkan pada
Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 sebelumnya.
UNCLOS 1982 meletakkan kewajiban
kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan
laut[4].
Juga menetapkan hak negara-negara peserta untuk mengelola
sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan
lingkungan dari masing-masing negara[5].
UNCLOS 1982 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan
bagi kapal perang dan kapal-kapal pemerintah serta kaitan dari Bagian
XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut
dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya
guna perlindungan lingkungan laut.
Bagian XII UNCLOS 1982 tersebut juga
mewajibkan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang
dipandang perlu guna mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran
lingkungan laut dari sumber-sumber manapun baik dari daratan
(pembuangan sampah rumah tangga dan deterjen berlebih, penggunaan
peptisida yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan, pencemaran
air sungai, dan lain-lain) ataupun laut. UNCLOS 1982 juga mengatur
kewajiban negara peserta untuk memastikan bahwa tindakan eksplorasi
dan eksploitasi kekayaan laut di dalam jurisdiksi nasionalnya tidak
mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan laut wilayahnya
sendiri dan juga lingkungan laut negara lain.
Kerjasama Regional dan Internasional Dalam Perlindungan dan
Pemeliharaan Lingkungan Laut Lintas Batas
Negara peserta UNCLOS 1982 diwajibkan
untuk bekerjasama secara bilateral, regional dan global baik secara
langsung ataupun melalui organisasi internasional dalam merumuskan
aturan-aturan, standar-standar dan rekomendasi praktek serta prosedur
guna melindungi dan memperhitungkan keadaan regional bersangkutan[6].
Apabila suatu negara mengetahui tentang ancaman atau pencemaran
lingkungan yang sudah terjadi di wilayah lintas batas, negara tersebut
harus memberitahukan negara lain yang mungkin tercemar dan organisasi
internasional yang terkait atas peristiwa ancaman atau pencemaran
lingkungan laut lintas batas tersebut[7].
Dalam skenario sebagaimana
digambarkan diatas, negara-negara dan organisasi-organisasi
regional/internasional didalam wilayah tersebut harus bekerja sama
untuk menghilangkan akibat-akibat pencemaran serta mencegah atau
memperkecil kerusakan dan menerapkan rencana-rencana khusus untuk
menanggulangi insiden pencemaran lingkungan laut lintas batas tersebut[8].
Dalam kaitan ini, terdapat beberapa contoh bentuk kerjasama baik
bilateral, regional dan internasional guna perlindungan dan pemeliharaan
lingkungan laut lintas batas, seperti:
A. Kerjasama Bilateral
MoU between the Government of
Australia and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response 1996,
yang mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb:
a.Promosi kerjasama yang saling
menguntungkan di dalam kesiapan di dalam merespon polusi minyak di laut;
b.Kerjasama pertukaran informasi atas
insiden pencemaran minyak di laut;
c.Inspeksi lapangan pada lokasi
insiden minyak di laut yang sedang terjadi untuk kerjasama yang saling
menguntungkan antar kedua belah pihak;
d.Pelatihan dan pendidikan bersama
untuk capacity building yang lebih baik;
e.Promosi untuk melakukan riset dan
penelitian di dalam menciptakan ukuran (measures), teknik ,
standar dan peralatan yang diperlukan;
f.Kerjasama tanggap darurat seperti
mobilisasi personil, logistik dan peralatan lain yang dibutuhkan di
dalam situasi darurat, dan lain-lain.
B. Kerjasama Trilateral
MoU Sulawesi Sea Oil Spill
Response Network Plan 1981, yang mengandung butir-butir kerjasama
antara lain sbb:
a.Kerjasama antara
Indonesia-Malaysia-Filipina di dalam hal menghadapi tumpahan minyak di
sepanjang Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Laut Sulu;
b.Pelatihan personil tahunan di dalam
konteks MARPOL[9]
dan isu terkait lainnya;
c.Mekanisme komunikasi antara
focal point di masing-masing negara dalam hal perencanaan suatu
operasi oil spill combat, dan lain lain.
C. Kerjasama Regional
10MoU between
Indonesia-Malaysia-Singapore with the Malacca Straits Council on the
Establishment of Revolving Fund Committee yang bertujuan untuk
membuat skema sumber dana “on-call” atau dana talangan apabila
terjadi operasi penanggulangan pencemaran minyak di laut yang berasal
dari tumpahan kapal yang berlokasi di Selat Malaka dan Singapura.
2)MoU for ASEAN Oil Spill Response
Action Plan (ASEAN-OSRAP), 1992 yang mengandung butir-butir
kerjasama antara lain sbb:
a.Meningkatkan kemampuan negara
peserta untuk merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi
di wilayah negara-negara ASEAN;
b.Membentuk skema kerjasama untuk
pemberian bantuan yang saling menguntungkan diantara negara anggota
ASEAN;
c.Membuat prosedur pengelolaan
bencana di dalam merespon insiden pencemaran minyak di laut yang
terjadi di wilayah negara-negara ASEAN;dan
d.Membuat skema bantuan eksternal
dan internal yang diperlukan di dalam merespon insiden pencemaran
minyak di laut yang terjadi di wilayah negara ASEAN, dan lain-lain.
D. Kerjasama Global
1) International Convention on
Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation, 1990 yang
mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb[10]:
a.Mengatur kerjasama kesiapsiagaan
dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dari kapal, anjungan
lepas pantai, pelabuhan laut maupun fasilitas-fasiltas lain; dan
b.Membantu negara berkembang untuk
mempersiapkan diri dan bereaksi tanggap terhadap insiden-insiden
tumpahan minyak di laut, dan lain lain.
2) International Convention on
Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) dan the
International Oil Pollution Compensation (IOPC) Funds 1992 yang
mengandung butir-butir kerjasama antara lain sbb[11]:
a.CLC dimaksudkan untuk memastikan
bahwa tersedia kompensasi yang cukup bagi pihak-pihak yang terkena
dampak pencemaran laut akibat tumpahan minyak yang berasal dari
kecelakaan-kecelakaan kapal;dan
b.Dalam CLC, kecuali terbukti bahwa
kesalahan mutlak berada pada suatu pihak, terdapat batas pertanggung
jawaban (limit of liability) atas jumlah kompensasi yang
ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam suatu insiden
pencemaran laut. Oleh karena itu IOPC Funds menyediakan dana
tambahan apabila kerugian yang ditimbulkan melebihi limit of
liability yang diatur didalam CLC tersebut, dan lain-lain.
Selain bentuk kerjasama bilateral,
regional dan global sebagaimana telah diuraikan diatas, Pemerintah
Indonesia juga telah membentuk 2 instrumen nasional yang terkait
dengan Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut, yaitu:
1) Perpres No. 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) yang mengamanatkan
tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi untuk mencegah dan
mengatasi penyebaran tumpahan minyak di laut serta menanggulangi
dampak lingkungan akibat tumpahan minyak tersebut untuk meminimalisi
kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. Tanggung jawab atas
penyelenggaraan penanggulangan tumpahan minyak di laut tersebut
merupakan tingkatan Tier-3[12]
dan berada di tangan Tim Nasional PKDTML[13].
2) Kepmenhub No. 355 tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat
Komando dan Pengendali Nasional (PUSKODALNAS) PKDTML yang
mengamanatkan koordinasi operasi, dukungan advokasi, pelaksanaan
komando, pengendalian operasi, penyusunan protap Tier-3[14],
dan lain-lain guna merespon kondisi darurat yang disebabkan oleh
tumpahan minyak di laut.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Sengketa Pencemaran
Lingkungan Laut
Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV
UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan ditetapkan bahwa pada
dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah yang akan
menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means)
yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB[15].
UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang
bersengketa untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara
damai lainnya (other free means)[16],
dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak
berhasil, maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal
dan mengikat, yaitu melalui[17]:
a. Mahkamah Internasional Hukum
Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang
berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b. Mahkamah Internasional (International
Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c. Arbitrase atau Prosedur
Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures)
yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d. Konsiliasi (Conciliation)
yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam
Lampiran V UNCLOS 1982.
UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa
apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa setuju, maka
penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan
bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu
prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikat[18]
bagi masing-masing pihak yang bersengketa. Prosedur di dalam
persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan umum tersebut akan
ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan
mengantikan prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 sebagaimana
telah diuraikan diatas.
Kasus Montara dalam Kepentingan Nasional Indonesia
Kasus kebocoran ladang minyak dan
gas lepas pantai yang terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus
2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration and Production
(PTTEP) Australia merupakan suatu contoh pencemaran lingkungan laut
lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu: Indonesia,Timor Leste
dan Australia. Kebocoran ladang minyak dan gas tersebut mencemari
16.420 kilometer persegi wilayah Indonesia di Laut Timor dan mempunyai
implikasi pada banyak hal antara lain: pencemaran lingkungan laut dan
biota laut, pertumbuhan organisme laut yang terhambat (stunted
growth), kematian terhadap organisme laut dan makhluk hidup
lainnya yang mengkonsumsi organisme laut tersebut, serta implikasi
langsung pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan
penghidupan pada sektor perikanan di daerah tersebut.
PTTEP merupakan operator kilang
minyak Thailand yang berlokasi di Montara Welhead Platform, Laut Timor
atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan
Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari[19]
menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan Indonesia,
terutama di wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua[20].
Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim
ganti rugi kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan
Pemerintah Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada
PTTEP berujung pada ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar
atau setara dengan ± US$ 30 juta .
Dari kasus pencemaran minyak Montara
tersebut diatas, terdapat suatu kenyataan di dalam rezim hukum sekarang
yang hanya mengatur mengenai pencemaran yang bersumber dari kapal[21],
dan belum ada suatu instrumen atau mekanisme khusus yang mengatur
pencemaran minyak di laut yang bersumber dari anjungan migas lepas
pantai. Terkait dengan hal ini, Pemerintah RI telah menyampaikan
Proposal untuk mengatur bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari
pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore
oil exploration and exploitation) dalam Marine Environmental
Protection Committee (MPC)-nya International Maritime
Organization (IMO). Setelah pembahasan di dalam MPC IMO, Proposal
tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam Legal
Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London.
Cakupan dari Proposal Pemerintah RI tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Indonesia memandang perlu
dibentuknya suatu instrumen yang mengatur tanggung jawab dan skema
kompensasi atas pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan
migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation)
untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di kemudian hari;
b. Mendesak Legal Committee IMO
untuk membentuk suatu skema sumber dana “on-call” atau dana
talangan yang dapat digunakan apabila pencemaran minyak di laut yang
berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration
and exploitation) kembali terjadi dikemudian hari;
c. Menegaskan kembali Polluters
Pay Principle[22]
dimana strict liability atas tanggung jawab insiden
pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore
oil exploration and exploitation) berada pada pemilik kilang migas
lepas pantai yang menyebabkan pencemaran minyak tersebut; dan
d. Perlunya pemilik anjungan
migas lepas pantai untuk menggunakan skema asuransi atas resiko yang
mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi migas di wilayah
jurisdiksi RI, dan lain-lain.
Kasus Montara jelas merupakan suatu
tonggak bagi Pemerintah RI untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan guna menjamin kepentingan nasional Indonesia. Proposal RI
di dalam Legal Committee IMO sangat jelas dan merupakan
kepentingan strategis Indonesia, yaitu untuk mengkoordinasioan
pembuatan suatu rezim hukum laut baru, melalui mekanisme multilateral,
yang mengatur pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan
migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation)
guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus Montara serupa di
wilayah jurisdiksi Indonesia dikemudian hari.
-FJM-
[1]
Konferensi Hukum Laut I telah menghasilkan 4 konvensi penting yaitu:
Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Convention on
Territorial Sea and Contiguous Zone), Konvensi tentang Laut Lepas (Convention
on the High Seas), Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention
on the Continental Shelf) dan Konvensi tentang Perikanan dan
Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas (Convention on
Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas)
[2]
Pasal 308 UNCLOS 1982
[3]
Pasal 311 UNCLOS 1982
[4]
Pasal 192 UNCLOS 1982
[5]
Pasal 193 UNCLOS 1982
[6]
Pasal 197 UNCLOS 1982
[7]
Pasal 198 UNCLOS 1982
[8]
Pasal 199 UNCLOS 1982
[9]
MARPOL adalah kependekan dari Marine Pollution. Terdapat juga
suatu konvensi internasional MARPOL yaitu International
Convention for the Prevention of Pollution From Ships, 1973 yang
telah dirubah oleh Protocol of 1978. Kedua instrument ini dikenal
juga dengan sebutan: MARPOL 73/78
[10]
Saat ini Indonesia belum menjadi negara peserta di dalam Konvensi ini.
[11]
Saat ini Indonesia adalah negara pihak CLC namun telah keluar dari IOPC
Funds
[12]
Tier-3 adalah tumpahan minyak telah melewati batas wilayah negara
[13]
Tim Nasional PKDTML dipimpin oleh Menteri Perhubungan RI dan
beranggotakan 14 Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Badan dan Kepala
Daerah.
[14]
Protap Tier-3 saat ini masih dalam proses finalisasi oleh Kementerian
Perhubungan RI
[15]
Pasal 279 UNCLOS 1982
[16]
Pasal 280 UNCLOS 1982
[17]
Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[18]
Pasal 282 UNCLOS 1982
[19]Tumpahan
miyak tersebut memasuki perairan Indonesia di wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT) sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara Pulau Rote.
[20]
Website Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), www.walhi.or.id
[21]
Canadian Maritime Law Association menyampaikan di dalam suatu
seminar bahwa dari 70 perjanjian internasional yang mengatur mengenai
perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, belum ada satupun yang
secara khusus mengatur bentuk kompensasi atas pencemaran minyak di
laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil
exploration and exploitation). Perjanjian internasional yang
mengatur tanggung jawab pencemaran minyak seperti Safety of Life on
Sea (SOLAS) maupun Standard of Training, Certification and Watch
Keeping for Seafarers (STCW) hanya didesain secara khusus untuk
mengatur pencemaran minyak di laut yang berasal dari muatan kapal.
[22]
Polluters Pay Principle adalah prinsip dasar yang terkandung di
dalam Principle 16 dari Rio Declaration on Environment and
Development, 1992 yang berbunyi: “national authorities should
endeavor to promote the internalization of environmental cost and the
use of economic instrument, taking into account the approach that the
polluters should, in principle, bear the cost of pollution, with due
regard to the public interest and without distorting international trade
and investments”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar